1. PENGERTIAN IJARAH (UPAH)
Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu,
baik dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut
istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada
imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
2. PENSYARI’ATAN IJARAH
Allah swt berfirman :
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thaalaq: 6).
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
peling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.” (QS Al-Qashash: 26).
“Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau
kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS Al-Kahfi: 77).
Dari Aisyah ra, dia berkata “Nabi saw bersama Abu Bakar ra pernah
mengupah seorang laki-laki dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan yang
mahir. Al-Khirrit ialah penunjuk jalan yang mahir.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 1409 dan Fathul Bari IV: 442 no: 2263).
3. HAL-HAL YANG BOLEH DITARIK UPAHNYA
Segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan sesuatu itu yang tetap
utuh, maka boleh disewakan untuk mendapatkan upahnya, selama tidak
didapati larangan dari syari’at.
Dipersyaratkan sesuatu yang disewakan itu harus jelas dan upahnya pun
jelas, demikian pula jangka waktunya dan jenis pekerjaannya.
Allah swt berfirman ketika menceritakan perihal rekan Nabi Musa as:
“Berkatalah dia (Syu’aib), Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu
bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka
itu adalah suatu kebaikan) darimu.” (QS al-Qashash: 27).
Dari Hanzhalah bin Qais, ia bertutur: Saya pernah bertanya kepada Rafi’
bin Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Maka
jawabnya, “Tidak mengapa, sesungguhnya pada masa Nabi saw orang-orang
hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di
pematang-pematang (galengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman
lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat
sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu)
sewaan melainkan ini, lalu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa)
dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijami, maka tidak dilarang.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1498).
4. ANJURAN SEGERA MEMBAYAR UPAH
Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443).
5. DOSA ORANG YANG TIDAK MEMBAYAR UPAH PEKERJA
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau bersabda, “Allah Ta’ala
berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat (kelak) Aku akan
menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang mengucapkan
sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki yang
menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang
laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan
tugas dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).
6. PERBUATAN YANG TIDAK BOLEH DIAMBIL UPAHNYA SEBAGAI MATA PENCAHARIAN
Allah swt menegaskan :
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan
pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu
hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka,
maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun Lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur: 33).
Dari Jabir Abdullah bin Ubai bin Salul mempunyai dua budak perempuan,
yang satu bernama Musaikah dan satunya lagi bernama Umaimah. Kemudian
dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka mengadukan kasus itu kepada
Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kamu memaksa budak-budak wanitamu untuk melacur maka adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 2155 dan Muslim2 IV: 3320 no: 27 dan 3029).
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwa Rasulullah saw melarang harga
anjing, hasil melacur, dan upah tukang tenung. (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari IV: 426 no: 237, Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud
IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159
dan Nasa’i VII: 309).
Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Nabi saw melarang upah persetubuhan
pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 939, Fathul Bari IV: 461 no:
2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II: 372 no: 1291 dan
Nasa’i VII: 289).
7. UPAH MEMBACA AL-QUR’AN
Dari Abdurrahman bin Syibl al-Anshari ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah
kalian membaca al-Qur’an, namun janganlah kamu makan dengan (upah
membaca)nya, jangan (pula) memperbanyak (harta) dengannya, jangan kamu
berpaling darinya dan jangan (pula) kalian berkelebihan dalam
(menyikapi)nya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1168 dan al-Fathur Rabbani XV: 125 no: 398).
Dari Jabir bin Abdillah ra, ia berkata : Rasulullah saw pernah pergi
menemui kami yang sedang membaca al-Qur’an, sedang di antara kami ada
yang berkebangsaan Arab dan ada pula non Arab. Kemudian Beliau bersabda,
“Bacalah (al-Qur’an); karena setiap (huruf) (pahalanya) satu
kebaikan; dan akan ada sejumlah kaum yang berusaha meluruskan
bacaan al-Qur’an sebagaimana dibereskannya gelas (yang pecah); mereka
tergesa-gesa untuk mendapat balasannya dan tidak mau menangguhkannya.” (Shahih: ash-Shahihah no: 259 dan ‘Aunul Ma’bud III: 58 no: 815).
Ma’na kalimat “Dan akan ada sejumlah kaum yang berusaha meluruskan
bacaan al-Qur’an ini pada mereka yang gigih memperbaiki lafadz dan kata
yang terdapat dalam al-Qur’an dan memaksa dan memperhatikan makharijul
huruf dan sifat-sifatnya “Sebagaimana dibereskannya gelas (yang pecah)”
yaitu mereka berusaha dengan serius memperbaiki bacaan karena riya’,
sum’ah, prestise, dan populer. “Mereka menangguhkannya, yaitu
mendambakan pahala di akhirat, namun justeru mereka mengutamakan balasan
duniawi balasan yang dijanjikan di akhirat. Mereka ittikal (pasrah
tanpa iktiyar), tidak mau bertawakkal kepada-Nya. Lihat ‘Aunul Ma’bud
III: 59.
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa ia pernah mendengar Nabi saw bersabda, “Pelajarilah
al-Qur’an, dan dengannya mohonlah kepada Allah surga sebelum satu kaum
yang mempelajarinya untuk mencari keuntungan duniawi; karena
sesungguhnya al-Qur’an dipelajari oleh tiga kelompok manusia: (pertama)
seorang yang senang berbangga diri dengannya, (kedua) seorang yang
mencari makan dengannya, dan (ketiga) seorang yang membacanya karena
Allah ta’ala.” (Shahih: ash-Shahihah no: 463 dan Ibnu Nashr meriwayatkannya dalam Qiyamul lail hal. 74).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 681 - 687.
0 komentar:
Posting Komentar